Apabila terjadi kegawatdaruratan pada ibu hamil, maka para dokter kebidanan dan kandungan akan memilih untuk menyelamatkan sang ibu terlebih dahulu. Mengapa demikian?
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan kematian ibu hamil terjadi hampir setiap dua menit pada tahun 2020. Di tahun yang sama, setiap hari hampir 800 perempuan meninggal karena sebab-sebab yang dapat dicegah terkait kehamilan dan persalinan.
Di Indonesia, berdasarkan data Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan, angka kematian ibu pada tahun 2022 mencapai 4.005 dan di tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Menurut dr. Gde Suardana, Sp. O. G., F. IND-INF, dokter di Rumah Sakit Anak dan Bunda (RSAB) Harapan Kita, ada dua faktor utama yang menyebabkan angka kematian di Indonesia masih tinggi, yaitu terlambat menegakkan diagnosis dan terlambat untuk merujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana dan prasarana lengkap. “Terlambat menegakkan diagnosis itu menyebabkan dia (ibu hamil) datang ke fasilitas kesehatan dalam kondisi yang, istilahnya, kurang baik kondisinya,” kata Gde kepada Mediakom pada 21 Desember 2023.
Gde mengatakan, hingga saat ini, terlambatnya deteksi soal kegawatdaruratan pada ibu dan bayi masih menjadi penyumbang terbesar angka kematian ibu hamil. Ini sebenarnya bisa dicegah dengan melakukan kontrol rutin selama kehamilan. WHO, kata dia, pada tahun 2016 telah menyarankan pemeriksaan kehamilan antenatal care (ANC) minimal delapan kali bagi setiap ibu hamil.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga telah membuat program ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan atau mengakses pelayanan ANC pada kehamilan minimal enam kali. Adapun pemeriksaan selama sembilan bulan mengandung dilakukan dengan rincian dua kali pada trimester pertama, satu kali pada trimester kedua, dan tiga kali pada trimester ketiga. Saat melakukan kontrol kehamilan, minimal dua kali ia diperiksa oleh dokter, yakni saat kunjungan pertama pada trimester pertama dan saat kunjungan kelima pada trimester ketiga. Program tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu hamil.
“Sebenarnya hal ini bisa dicegah kalau di awal kehamilan mereka semua patuh mau ketemu dokter untuk di-USG agar mengetahui kehamilannya berisiko atau tidak, ari-arinya normal atau tidak, hingga potensi terjadi pendarahan atau tidak,” kata Gde, dokter yang juga pengurus Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia (POGI) Cabang Jakarta.
Gde menjelaskan, apabila terjadi kegawatdaruratan pada ibu hamil, maka para dokter kebidanan dan kandungan akan memilih untuk menyelamatkan sang ibu terlebih dahulu. Hal tersebut sudah menjadi konsensus dokter kandungan di seluruh dunia. “Konsep yang kami pegang teguh di dunia kedokteran kebidanan dan kandungan adalah save the mother first. Selamatkan ibunya dulu,” kata dia. “Kalau bisa dua-duanya. Tapi, kalau kami pertahankan bayinya dengan harus mengorbankan ibunya, itu kami tolak karena konsepnya harus selamatkan ibunya dulu.”
Menurut Gde, alasannya, sang ibu masih bisa menjalankan tugas reproduksi berikutnya. Selain itu, jika telah memiliki anak sebelumnya, maka kehadiran ibu masih dibutuhkan. Suaminya juga masih memerlukan sosok istri untuk menjalani hidupnya. “Maka, kadang-kadang kami, dokter, harus memilih dalam kondisi yang terburuk yang tidak ada pilihan, ya terpaksa kami harus memilih selamatkan ibunya. Bayinya, mohon maaf, tidak bisa diselamatkan. Itu sering terjadi.”
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan dari Rumah Sakit Polri Said Sukanto, dr. Fredrico Patria, Sp. O. G. (K.), menyatakan, penyebab terbanyak dari ibu bersalin meninggal adalah preeklamsia dan eklamsia, ketika terjadi kenaikan tekanan darah pada kehamilan yang menyebabkan kejang, sesak, dan gagal jantung. Penyebab lainnya adalah pendarahan dan infeksi.
Adapun penyebab kematian pada bayi adalah kekurangan oksigen saat persalinan atau hipoksia dan kesulitan bernapas pada saat lahir atau asfiksia. Data Kemenkes menunjukkan bahwa jumlah kematian ibu pada 2022 yang disebabkan oleh eklamsi sebanyak 23 persen dan pendarahan sebanyak 20 persen. Pada 2023, penyebab kematian akibat eklamsia sebesar 24 persen dan pendarahan 23 persen. “Sampai sekarang pekerjaan rumah dokter kandungan se-Indonesia adalah pendarahan dan eklamsia,” ujar Gde.
Gde menuturkan, pendarahan masih menjadi penyebab kematian pada ibu hamil karena mereka sangat memerlukan tindakan yang cepat dan tim yang tepat. Ibu yang akan melahirkan harus segera sampai di fasilitas kesehatan yang mempunyai Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK), yakni rumah sakit yang mempunyai sarana sampai bisa melakukan tindakan operasi caesar. Sayangnya, kata Gde, kematian ibu hamil tinggi karena dua hal tadi, yaitu terlambat mendeteksi dan terlambat merujuknya dan berikutnya terlambat penanganannya.
Kendala merujuk, Gde menerangkan, umumnya terjadinya di daerah, mulai dari tidak tersedianya kendaraan hingga jaraknya yang jauh dari fasilitas kesehatan. Bahkan, di Kalimantan orang harus menggunakan perahu untuk menyusuri sungai agar bisa sampai ke pusat kesehatan masyarakat (puskesmas). “Targetnya Kemenkes, jika diputuskan gawat darurat, dalam 30 menit operasi sesar harus sudah dilakukan untuk menyelamatkan ibu,” kata dia.
Gde menjelaskan bahwa preeklamsia dan eklamsia merupakan kasus spesifik yang terjadi hanya pada ibu hamil dan tidak berlaku untuk hipertensi lainnya. Preeklamsia dikenal sebagai keracunan pada kehamilan karena kehamilan itu sendiri yang menyebabkan si ibu mengalami hipertensi, yang jika tidak hamil ia tidak akan mengalami kenaikan tekanan darah. Preeklamsia umumnya terjadi karena adanya kelainan, terutama pada plasenta, sehingga terjadi lonjakan tekanan darah pada ibu hamil. “Makanya disebut preeklamsia atau sebelum eklamsia karena yang kami takutkan terjadi eklamsia, yaitu kejang, tidak sadar, koma.”
Menurut Gde, eklamsia itu berasal dari bahasa Yunani artinya “petir” dan preeklamsia disebut “menjelang petir”, yang diibaratkan seperti mendung. Jadi, hipertensi pada preeklamsia itu diibaratkan seperti mendung yang sangat mungkin akan terjadi petir atau halilintar. Kapan terjadinya petir pada saat mendung? Itu tidak bisa diprediksi. Oleh karena itu, lanjut Gde, para dokter kandungan diharapkan bila mengetahui terjadi preeklamsia atau hipertensi atau tekanan darah meningkat pada ibu hamil untuk segera bertindak dan memutuskan segera apakah mau kehamilan dilanjutkan atau menyelamatkan ibu, yakni sesuai prinsip selamatkan ibu dahulu.
Secara teori, kata Gde, eklamsia dapat terjadi pada usia kehamilan 20 minggu. Adapun ciri-cirinya sebelum 20 minggu tensinya tidak tinggi, normal-normal saja. Setelah usia kehamilan di atas 20 minggu tiba-tiba tekanan darahnya tinggi saat diperiksa. Oleh karena itu, kontrol kehamilan sebagai deteksi dini diperlukan sehingga kalau tensinya naik, maka ibu harus hati-hati.
Pada kasus preeklamsia yang sudah berat, yang sudah terancam untuk terjadinya eklamsia, dokter sebenarnya sudah tidak ada waktu lagi untuk menunda proses persalinan untuk menyelamatkan ibu. Adapun pada preeklamsia ringan menuju ke berat, dokter hanya boleh memberikan kesempatan apabila tensinya terkendali dan hanya untuk memberikan pematangan paru buat bayi. “Itu pun tidak boleh lebih dari 24 jam harus sudah diterminasi atau diakhiri kehamilannya. Itu semata-mata karena semua dokter kandungan di Indonesia takut kalau sudah terjadi eklamsia, hubungannya adalah dengan mortalitas atau kematian ibu yang tinggi,” ujar Gde.