Angka kematian ibu dan bayi di Indonesia masih tinggi. Kementerian Kesehatan berusaha mengatasinya dengan sejumlah kebijakan yang diharapkan menyelamatkan sang ibu dan bayinya. 

Angka kematian ibu dan bayi merupakan dua indikator yang lazim digunakan untuk menentukan derajat kesehatan di suatu negara. Di Indonesia dua hal ini menjadi perhatian pemerintah karena angka kematian ibu dan bayi di Tanah Air masuk peringkat tiga besar di ASEAN. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kementerian Kesehatan, dr. Lovely Daisy, M. K. M., pada acara temu media dalam rangka hari prematur sedunia pada 15 Desember 2023.

Menurut Daisy, berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, angka kematian ibu melahirkan mencapai 189 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini, kata Daisy, membuat Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di ASEAN dalam hal kematian ibu, jauh lebih tinggi daripada Malaysia, Brunei, Thailand, dan Vietnam yang sudah di bawah 100 per 100 ribu kelahiran hidup.

Adapun kematian bayi tercatat mencapai 16,85 per 1.000 kelahiran hidup. “Jadi, dari 1.000 kelahiran hidup bayi-bayi itu, yang tidak akan mencapai usia satu tahun sekitar 17 orang. Kalau kita bandingkan dengan negara ASEAN lain, kita juga nomor tiga tertinggi. Artinya, kita juga perlu mempercepat penurunan kematian bayi,” ujar Daisy.

Berdasarkan data dari Maternal Perinatal Death Notification (MPDN), sistem pencatatan kematian ibu Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu pada tahun 2022 mencapai 4.005 dan di tahun 2023 meningkat menjadi 4.129. Sementara itu, untuk kematian bayi pada 2022 sebanyak 20.882 dan pada tahun  2023 tercatat 29.945.

Daisy mengatakan, kematian bayi banyak disebabkan oleh bayi berat lahir rendah (BBLR) atau prematuritas dan asfiksia. BBLR, menurut Daisy, terjadi ketika bayi lahir dengan berat badan di bawah 2.500 gram dan biasanya dialami bayi prematur yang dilahirkan kurang dari masa kehamilan 37 minggu. “Bayi-bayi dengan berat badan kurang dari 2.500 gram ini atau bayi-bayi prematur ini lebih rentan dan lebih mudah sakit dan juga menyebabkan kematian. Jadi, kita perlu mencegah bayi-bayi ini agar jangan lahir prematur, agar jangan lahir BBLR,” kata Daisy.

Menurut Dana Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF), kelahiran prematur merupakan penyebab utama kematian anak usia di bawah lima tahun dengan perkiraan 15 juta bayi lahir prematur di seluruh dunia setiap tahun. Untuk itu, UNICEF mendorong salah satu upaya untuk mencegah bayi lahir prematur dengan melakukan deteksi dini selama kehamilan. Adapun untuk penyebab kematian ibu hamil umumnya adalah pendarahan dan eklamsia. “Penyebab kematian ibu yang terbanyak adalah hipertensi dalam kehamilan, biasa kami sebut dengan eklamsia dan perdarahan yang sebenarnya ini bisa dicegah,” kata Daisy.

Intervensi Pemerintah

Penurunan angka kematian ibu dan bayi menjadi salah satu program prioritas yang dijalankan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Sejumlah program dilakukan Kemenkes, seperti program sebelum kehamilan, saat hamil, dan juga perawatan untuk bayi prematur dan BBLR. Sejumlah masalah kesehatan yang dialami oleh ibu hamil di antaranya adalah 48,9 persen ibu hamil dengan anemia, 12,7 persen dengan hipertensi, 17,3 persen kurang energi kronik (KEK), dan 28 persen dengan risiko komplikasi.

Untuk mengatasi masalah pada ibu hamil tersebut, Kemenkes, Daisy menerangkan, telah membuat sejumlah kebijakan yang diharapkan menyelamatkan sang ibu dan bayinya. Program tersebut di antaranya adalah pemeriksaan kehamilan pada ibu hamil yang dulunya hanya dilakukan empat kali kini diubah menjadi enam kali. Dua kali dalam enam pemeriksaan tersebut dilakukan oleh dokter. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi risiko komplikasi yang terjadi pada ibu hamil yang mungkin akan berdampak pada sang ibu dan bayi yang dikandungnya.

Selanjutnya adalah pemberian tablet tambah darah pada ibu hamil yang wajib dikonsumsi satu kali dalam sehari. Ibu hamil yang memiliki penyakit anemia tidak hanya diberikan tablet tambah darah tapi juga dilakukan terapi untuk menanggulangi anemia. Adapun ibu yang mengalami kurang energi kronik (KEK) ketika mengandung akan diberikan makanan tambahan. Ibu hamil yang mengalami KEK, kata Daisy, biasanya terjadi karena kurang gizi sehingga intervensi yang dilakukan adalah memberikan makanan tambahan agar pertumbuhan janinnya dapat optimal. “Itu intervensi yang kami lakukan agar bayi tidak lahir di bawah 2.500 gram atau bayi prematur dengan melakukan intervensi pada ibunya.”

UNICEF menyatakan negara-negara perlu mendorong penerapan perawatan model kanguru karena metode ini memungkinkan kontak langsung antara ibu dan bayi yang dapat digunakan bagi bayi prematur atau bayi normal. Karena, kata UNICEF, metode ini akan mendorong pemberian air susu ibu (ASI), menurunkan tingkat stres, dan memperkuat ikatan antara ibu dan buah hatinya. Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa kontak kulit-ke-kulit dapat dan harus dimulai segera setelah lahir dan bahkan sebelum bayi baru lahir dianggap stabil secara klinis. “Kontak seperti ini meningkatkan pengaturan suhu tubuh, mencegah infeksi, menstimulasi produksi ASI, dan menghasilkan efek fisiologis, perilaku, psikososial, dan perkembangan saraf yang positif sekaligus mengurangi risiko kematian neonatal sebesar 40 persen,” kata UNICEF.